
Keterangan Gambar : SUNGKEMAN
Nusa .com . satu bulan umat Islam di Indonesia menunaikan ibadah puasa Ramadan, menahan rasa lapar, dan dahaga. Bahkan, karena posisinya di tengah pandemi Covid-19, umat Islam juga harus menahan diri untuk tidak beraktivitas dan beribadah di luar rumah. Semua terjadi dalam suasana penuh keterbatasan.
Kini, Idul Fitri telah tiba. Miliaran umat Islam sedunia merayakan hari istimewa tersebut dengan cara berbeda. Sukacita yang terpancar diselimuti keprihatinan dan kewaspadaan terhadap ancaman penularan Covid-19. Masjid dan lapangan tidak banyak dipakai untuk melaksanakan salat Id.
Boleh jadi, jumlah peserta takbiran di masjid dan musala kalah oleh jumlah ribuan tenaga medis dan pasien Covid-19 yang sedang berada di rumah sakit maupun ruang isolasi. Meski begitu, Idul Fitri harus tetap kita sambut dan rayakan dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Karena apa pun kondisinya, Idul Fitri adalah ’’wisudanya” hamba setelah melakoni puasa sebulan penuh, wajar disambut dengan kemeriahan.
Dalam konteks tradisi masyarakat Indonesia, Idul Fitri merupakan hari yang sangat penting. Tak heran jika mudik ke kampung halaman menjadi euforia tersendiri. Tidak hanya itu, berbagai pakaian baru serta beraneka ragam makanan dan minuman mulai dipersiapkan.
Namun, berbagai kebiasaan yang sering dilakukan masyarakat Indonesia pada saat Hari Raya Idul Fitri tersebut terpaksa harus dijeda selama masa pandemi ini. Kebijakan pemerintah dalam upaya mencegah transmisi penularan Covid-19 mengharuskan kita untuk tidak mudik ke kampung halaman. Bahkan, salat Id pun harus kita laksanakan di rumah masing-masing. Sungguh, keadaan ini jauh dari prediksi kita semua. Tetapi, demi percepatan pemerintah dalam menangani Covid-19 ini, kita semua harus mengikutinyaPerayaan Idul Fitri memang tidak bisa dipisahkan dengan budaya mudik, seakan belum merayakan Idul Fitri kalau belum mudik ke kampung halaman. Persepsi tentang kewajiban mudik saat Lebaran inilah yang membuat pemerintah di era pandemi ini menjadi kelabakan.
Tentu, Idul Fitri (kembali ke kesejatian) sangat berbeda dengan Idul Qoryah (kembali ke kampung halaman), baik secara harfiah maupun maknawiyahnya. Akan tetapi, yang terasa setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri tiba, umat Islam di Indonesia selalu sibuk bagaimana bisa mudik dan berkumpul dengan keluarga, dan bagi saya tidak salah, hanya kondisi pada saat ini perlu adanya pemahaman komprehensif tentang substansi Idul Fitri itu sendiri.
Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri, yaitu manusia yang bertakwa. Konsep Idul Fitri (kembali ke kesejatian) juga berkaitan erat dengan self-controlling (menahan diri) dari perbuatan yang tercela dan merugikan orang lain, termasuk memaksakan diri untuk mudik, padahal sudah tahu dampaknya sangat membahayakan keluarga dan kerabat di kampung halamannya.
Bisa jadi yang niatnya Idul Fitri, tapi yang didapatkan hanya Idul Qoryah (pulang kampung) dan sama sekali tidak menyentuh ruh Idul Fitri sebagai hari penyucian manusia dari sikap keangkuhan dan keakuan.
Esensi Idul Fitri itu bukan di kampung halaman, akan tetapi di mana pun tempatnya selagi kita benar-benar menghayati makna fitri (kesejatian). Karena itu, mudik ke kesejatian jauh lebih penting dan utama daripada mudik ke kampung halaman. Apa artinya kita bisa mudik ke kampung halaman, sementara pada saat yang bersamaan jiwa dan hati kita tidak sedang mudik ke kesucian.
Kita semua merasakan bahwa perayaan Idul Fitri kali ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin yang sebelumnya kita merayakan Lebaran dengan berpakaian baru, dengan hidangan yang serbaenak, akan tetapi pada Idul Fitri tahun ini kita dianjurkan untuk merayakannya secara sederhana dan hanya dengan keluarga yang serumah.
Pada saat bersamaan, tradisi Lebaran juga diartikan sebagai momen bersilaturahmi, bertatap muka, serta saling bermaaf-maafkan dengan sanak saudara, tetapi ada yang luput dari pengertian silaturahmi pada tataran spiritualitas. Imam Ghozali dalam magnum opusnya Ihya ’Ulumuddin mengatakan bahwa esensi silaturahmi itu bukan pada bertemu secara fisik, tetapi idkholus surur ala qolbil mukmin.
Apalah arti kita bersilaturahmi secara tatap muka, tetapi menularkan virus yang membahayakan orang lain, bukan itu sejatinya silaturahmi. Alangkah lebih baiknya kita menghadirkan kebahagiaan kepada orang lain (idkholus surur ala qolbil mukmin) dengan mengganti pertemuan secara fisik dengan saling bertegur sapa melalui media sosial, WhatsApp (WA), video call, dan aplikasi daring lainnya sembari saling mendoakan keselamatan agar dijauhkan dari ganasnya wabah Covid-19 atau bahkan mengirimi mereka kebutuhan yang diperlukan, maka sejatinya itu adalah ’’silaturahmi”.
Bahkan, silaturahmi pun harus memuat sisi keselamatan yang utuh, bukan mementingkan tradisi, sehingga apa yang sebetulnya bagi kita baik malah mendatangkan bahaya kepada orang lain, alih-alih ingin membuat orang lain bahagia, tapi malah mendatangkan malapetaka.
Hemat saya, pada momen Hari Raya Idul Fitri ini, semoga umat Islam Indonesia benar-benar mampu memaknai Idul Fitri secara spiritual, bukan hanya ritualnya semata, sehingga apa yang disebut dengan kembali ke fitrah (kesejatian) itu mampu mendatangkan kesalehan pasca Idul Fitri.
Manifestasi kesalehan tanda kita kembali fitri adalah jika kita mematuhi anjuran pemerintah untuk physical distancing, memakai masker ke mana pun kita pergi, mencuci tangan dan menjaga kesehatan, tidak mudik maupun pulang kampung, dan tentunya berlebaran di rumah saja tidak beranjangsana.
Selamat berlebaran, jangan menyerah dan jangan terserah, mari rayakan dengan menebar kebaikan dan kerja-kerja kemanusiaan. (*)
Nusa .com
LEAVE A REPLY